Selasa, 27 November 2012

SHELVING BUKU, REPOT KALI YA…?

Shelving buku atau menata kembali buku-buku yang sudah digunakan ke rak display sesuai dengan nomor klasifikasinya di perpustakaan,  memang menjadi beban tersendiri bagi pustakawan dan staf perpustakaan. Bagaimana tidak menjadi beban kalau  yang dishelving itu ribuan eksemplar  setiap harinya.
Renungan ini bukan berarti mengeluh diri bekerja di perpustakaan, tetapi lebih hanya ingin untuk introspeksi sambil mencari solusi yang dirasa tepat. Bagaimanapun kegiatan shelving itu penting karena ini bagian dari proses temu kembali informasi. Bayangkan seandainya buku-buku tidak segera dishelving atau banyak yang salah letak, tentu banyak muncul complain dari pemustaka. Sering saya menerima keluhan dari pemustaka, “bukunya tidak ada di rak, padahal data di OPAC ada, ini OPAC-nya yang salah atau bukunya pada hilang sih Bu?” Ternyata kadang hanya karena buku yang dicari itu salah letak, entah siapa yang salah meletakkan.  Sayang ya, di sini belum ada robot yang bisa diandalkan untuk melakukan shelving buku. Mudah-mudahan ke depan segera ditemukan robot untuk shelving buku, biar gak repot gitu loooh.
Beberapa pengalaman saya  berkaitan dengan shelving buku di perpustakaan mungkin sama juga dengan yang dialami oleh pustakawan lain, antara lain:
1.      Jumlah buku yang perlu dishelving relative banyak, padahal kita harus memilah-milah  terlebih dahulu sesuai nomor klasifikasi.
2.       Rak buku kadang juga tidak user friendly karena shapnya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Bila shapnya terlalu tinggi, maka untuk menjangkaunya harus pake papan pembantu, kalau gak ada ya harus jinjit-jinjit (Bhs Jawa). Belum lagi kalau buku yang akan dishelving tebal, ini tentu menguras tenaga. Bagi kaum wanita, hal ini  bisa  menimbulkan rasa nyeri dan sakit di bawah ketiak  dan sekitar payudara.
3.       Ketidaknyamanan saat shelving. Ini lebih dikarenakan letak meja baca yang terlalu dekat dengan rak koleksi, sehingga yang shelving merasa tidak nyaman, yang lagi membaca merasa terganggu.. Padahal, apabila pekerjaan shelving ditunda sampai waktu  jam layanan tutup, mungkin kita kehabisan waktu  padahal  pekerjaan belum selesai.
4.       Kepedulian dari para pustakawan akan pentingnya shelving sebagai bagian dari proses temu kembali informasi  tidak sama, artinya ada yang peduli, ada yang cuek karena menganggap itu bukan pekerjaannya. Bahkan, maaf, saya pernah punya pengalaman, petugas memilih  tidak mau diberi insentif daripada harus shelving. “Mending gak usah ikut shelving dan gak terima uang, daripada harus shelving tapi badan sakit-sakit”,  kata petugas itu.
5.       Kadang juga ada kepedulian dari pemustaka yang membantu shelving, dipikirnya shelving itu kan hanya menata buku di rak to? Aaah gampaaaang. Ada juga yang mungkin merasa empati dan kasihan pada petugas, jadi pingin bantu-bantu, siapa tau ini bisa jadi jalan buat PEDEKATE!!. Alias pendekatan. Akan tetapi, yang didapat malah kesalahan penempatan. Aduuuh. Makanya, beberapa perpustakaan menghimbau pemustakanya agar tidak menempatkan kembali buku ke rak, khawatir salah letak.

Nah, shelving buku tetap akan menjadi persoalan di perpustakaan, bahkan bisa  menjadi momok dan imej kurang bagus terhadap pustakawan.  Orang kadang punya imej jelek terhadap pekerjaan yang ada di perpustakaan. Katanya, pekerjaan di perpustakaan hanya menata buku yang berdebu, bikin capek, bikin batuk, dsb.
Bagaimanapun, problem ini harus dicarikan solusinya. Bagaimanapun, kesuksesan proses temu kembali  koleksi tercetak perlu  diperhatikan. Ini beda dengan Google Bung… yang selaki klik informasi bisa datang sendiri dan cepat pula.  Ketika pemustaka akan mencari buku, maka harus melakukan searching terlebih dahulu melalui OPAC, lalu catat data-data buku  yang dicari, habis itu, cari rak  penempatannya, jangan lupa kode-kodenya. Setelah itu? Bisa jadi seneng karena apa yang dicarinya ketemu, bisa jadi sangat kecewa karena yang dicarinya tidak ketemu.

Beberapa solusi di bawah mungkin perlu  dicoba, yaitu:
1.       Libatkan semua petugas perpustakaan untuk shelving. Bukankah ada pepatah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing? Seberat apapun pekerjaan kalau itu dikerjakan bersama-sama tentu akan terasa ringan.  Kalau modelnya seperti ini, maka shelving buku bisa dilakukan pada akhir jam layanan, atau pada waktu-waktu tertentu.
2.       Berdayakan para  pegawai yang mungkin tidak terlalu sibuk untuk shelving, terutama pegawai laki-laki. Sekali lagi, maaf, ini lebih mempertimbangkan  factor kesehatan. Untuk itu, perlu dibentik Tim Shelving, dengan kompensasi materi/uang insentif.
3.       Memberdayakan mahasiswa tertentu untuk menjadi Tim Shelving dengan imbalan tertentu. Model inilah yang sekarang dilakukan oleh Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
4.       Memberdayakan pemustaka, dengan cara meminta mereka untuk mengembalikan buku yang telah dibaca ke rak semula. Memang pilihan ini ada resikonya, namun apabila diberi pengarahan pada waktu kegiatan user education, mungkin pemustaka juga akan mengerti, paham dan bisa melakukan shelving sendiri.  Ini juga sebagai ajang pembelajaran bertanggung jawab lho… Nah, tentu petugas perpustakaan nanti tetap mengawasi susunan buku di rak. Bukanlah ini bisa meringankan petugas?

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. selamat pagi penulis yg baik.
    saya mahasiswa informasi dan perpustakaan semester 2 dan belum bnyak pngalaman sama sekali di dunia perpustakaan lngsung. liburan ini saya isi dgn kegiatan magang di sebuah kantor studio agensi dan manajemen fotografi. ternyata di dalamnya terdapat perpustakaan sederhana namun pengklasifikasiannya tidak sesuai dgn rule klasifikasi manapun (hny diberi nomor saja pada spine buku) dan saya diminta untuk setidaknya mendata buku2 disana, jika menggunakan klasifikasi DDC tidak memungkinkan jadi sebaiknya apa yg harus saya lakukan?
    Mohon dijawab dan terimakasih banyak perhatiannya

    regards,
    kika

    BalasHapus
  3. Salam kenal saya Rahmat (mhs S1-Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)
    Mencoba memjawal permasalahan yg dialami Aliza.
    Mgkn yg anda mksd adalah taman baca, nah pada taman baca biasanya koleksi terbatas jadi dr pihak pimpinannya tdk mengklasifikasikan sedetilnya dikarnakan kolesi yg mudah retrival. Jd dia biasanya di buat nomor khusus ato warna khusus berdasarkan subjeknya. Nmun jika mau diklasifikasiin bleh2 aja siih..
    :)

    BalasHapus
  4. kalau saya susunnya diam diam aja :D ilang yaudah.. tunggu dipecat aja :D

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum wr.wb. saya mahasiswa s1 ilmu perpustakaan UIN Ar-raniry B.Aceh. sy semster akhir masih sdg menyusun skripsi,kebetulan judul saya berkaitan tentang shelving koleksi, saya merasa kekurangan bahan tentang shelving, dimanfaat shelving saya tidak bisa menulisnya krn teorinya belum saya dapatkan sampai sekarang. mungkin diantara kakak2 bisa membantu saya.terimakasih. wassalam

    BalasHapus