Shelving
buku atau menata kembali buku-buku yang sudah digunakan ke rak display sesuai
dengan nomor klasifikasinya di perpustakaan, memang menjadi beban tersendiri bagi
pustakawan dan staf perpustakaan. Bagaimana tidak menjadi beban kalau yang dishelving itu ribuan eksemplar setiap harinya.
Renungan ini bukan berarti
mengeluh diri bekerja di perpustakaan, tetapi lebih hanya ingin untuk
introspeksi sambil mencari solusi yang dirasa tepat. Bagaimanapun kegiatan
shelving itu penting karena ini bagian dari proses temu kembali informasi.
Bayangkan seandainya buku-buku tidak segera dishelving atau banyak yang salah
letak, tentu banyak muncul complain dari pemustaka. Sering saya menerima
keluhan dari pemustaka, “bukunya tidak ada di rak, padahal data di OPAC ada,
ini OPAC-nya yang salah atau bukunya pada hilang sih Bu?” Ternyata kadang hanya karena buku yang dicari itu salah
letak, entah siapa yang salah meletakkan. Sayang ya, di sini belum ada robot yang bisa
diandalkan untuk melakukan shelving buku. Mudah-mudahan ke depan segera
ditemukan robot untuk shelving buku, biar gak repot gitu loooh.
Beberapa pengalaman
saya berkaitan dengan shelving buku di
perpustakaan mungkin sama juga dengan yang dialami oleh pustakawan lain, antara
lain:
1. Jumlah buku yang perlu dishelving relative banyak,
padahal kita harus memilah-milah terlebih dahulu sesuai nomor klasifikasi.
2. Rak buku kadang juga tidak user friendly
karena shapnya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Bila shapnya terlalu tinggi,
maka untuk menjangkaunya harus pake papan pembantu, kalau gak ada ya harus
jinjit-jinjit (Bhs Jawa). Belum lagi kalau buku yang akan dishelving tebal, ini
tentu menguras tenaga. Bagi kaum wanita, hal ini bisa menimbulkan
rasa nyeri dan sakit di bawah ketiak dan
sekitar payudara.
3. Ketidaknyamanan saat shelving. Ini lebih
dikarenakan letak meja baca yang terlalu dekat dengan rak koleksi, sehingga
yang shelving merasa tidak nyaman, yang lagi membaca merasa terganggu..
Padahal, apabila pekerjaan shelving ditunda sampai waktu jam layanan tutup, mungkin kita kehabisan
waktu padahal pekerjaan belum selesai.
4. Kepedulian dari para pustakawan akan
pentingnya shelving sebagai bagian dari proses temu kembali informasi tidak sama, artinya ada yang peduli, ada yang
cuek karena menganggap itu bukan pekerjaannya. Bahkan, maaf, saya pernah punya
pengalaman, petugas memilih tidak mau
diberi insentif daripada harus shelving. “Mending gak usah ikut shelving dan gak
terima uang, daripada harus shelving tapi badan sakit-sakit”, kata petugas itu.
5. Kadang juga ada kepedulian dari pemustaka
yang membantu shelving, dipikirnya shelving itu kan hanya menata buku di rak
to? Aaah gampaaaang. Ada juga yang mungkin merasa empati dan kasihan pada
petugas, jadi pingin bantu-bantu, siapa tau ini bisa jadi jalan buat
PEDEKATE!!. Alias pendekatan. Akan tetapi, yang didapat malah kesalahan
penempatan. Aduuuh. Makanya, beberapa perpustakaan menghimbau pemustakanya agar
tidak menempatkan kembali buku ke rak, khawatir salah letak.
Nah, shelving buku tetap akan menjadi
persoalan di perpustakaan, bahkan bisa menjadi
momok dan imej kurang bagus terhadap pustakawan. Orang kadang punya imej jelek terhadap
pekerjaan yang ada di perpustakaan. Katanya, pekerjaan di perpustakaan hanya menata
buku yang berdebu, bikin capek, bikin batuk, dsb.
Bagaimanapun, problem ini harus dicarikan
solusinya. Bagaimanapun, kesuksesan proses temu kembali koleksi tercetak perlu diperhatikan. Ini beda dengan Google Bung… yang
selaki klik informasi bisa datang sendiri dan cepat pula. Ketika pemustaka akan mencari buku, maka
harus melakukan searching terlebih dahulu melalui OPAC, lalu catat data-data
buku yang dicari, habis itu, cari rak penempatannya, jangan lupa kode-kodenya.
Setelah itu? Bisa jadi seneng karena apa yang dicarinya ketemu, bisa jadi sangat
kecewa karena yang dicarinya tidak ketemu.
Beberapa solusi di bawah mungkin perlu dicoba, yaitu:
1.
Libatkan
semua petugas perpustakaan untuk shelving. Bukankah ada pepatah “berat sama
dipikul ringan sama dijinjing? Seberat apapun pekerjaan kalau itu dikerjakan
bersama-sama tentu akan terasa ringan.
Kalau modelnya seperti ini, maka shelving buku bisa dilakukan pada akhir
jam layanan, atau pada waktu-waktu tertentu.
2.
Berdayakan
para pegawai yang mungkin tidak terlalu
sibuk untuk shelving, terutama pegawai laki-laki. Sekali lagi, maaf, ini lebih
mempertimbangkan factor kesehatan. Untuk
itu, perlu dibentik Tim Shelving, dengan kompensasi materi/uang insentif.
3.
Memberdayakan
mahasiswa tertentu untuk menjadi Tim Shelving dengan imbalan tertentu. Model
inilah yang sekarang dilakukan oleh Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
4.
Memberdayakan
pemustaka, dengan cara meminta mereka untuk mengembalikan buku yang telah
dibaca ke rak semula. Memang pilihan ini ada resikonya, namun apabila diberi
pengarahan pada waktu kegiatan user
education, mungkin pemustaka juga akan mengerti, paham dan bisa melakukan
shelving sendiri. Ini juga sebagai ajang
pembelajaran bertanggung jawab lho… Nah, tentu petugas perpustakaan nanti tetap
mengawasi susunan buku di rak. Bukanlah ini bisa meringankan petugas?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusselamat pagi penulis yg baik.
BalasHapussaya mahasiswa informasi dan perpustakaan semester 2 dan belum bnyak pngalaman sama sekali di dunia perpustakaan lngsung. liburan ini saya isi dgn kegiatan magang di sebuah kantor studio agensi dan manajemen fotografi. ternyata di dalamnya terdapat perpustakaan sederhana namun pengklasifikasiannya tidak sesuai dgn rule klasifikasi manapun (hny diberi nomor saja pada spine buku) dan saya diminta untuk setidaknya mendata buku2 disana, jika menggunakan klasifikasi DDC tidak memungkinkan jadi sebaiknya apa yg harus saya lakukan?
Mohon dijawab dan terimakasih banyak perhatiannya
regards,
kika
Salam kenal saya Rahmat (mhs S1-Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)
BalasHapusMencoba memjawal permasalahan yg dialami Aliza.
Mgkn yg anda mksd adalah taman baca, nah pada taman baca biasanya koleksi terbatas jadi dr pihak pimpinannya tdk mengklasifikasikan sedetilnya dikarnakan kolesi yg mudah retrival. Jd dia biasanya di buat nomor khusus ato warna khusus berdasarkan subjeknya. Nmun jika mau diklasifikasiin bleh2 aja siih..
:)
kalau saya susunnya diam diam aja :D ilang yaudah.. tunggu dipecat aja :D
BalasHapusAssalamualaikum wr.wb. saya mahasiswa s1 ilmu perpustakaan UIN Ar-raniry B.Aceh. sy semster akhir masih sdg menyusun skripsi,kebetulan judul saya berkaitan tentang shelving koleksi, saya merasa kekurangan bahan tentang shelving, dimanfaat shelving saya tidak bisa menulisnya krn teorinya belum saya dapatkan sampai sekarang. mungkin diantara kakak2 bisa membantu saya.terimakasih. wassalam
BalasHapus